Diposting oleh
Cah Ingusan
PEKALONGAN. Pagi itu cuaca cerah, dan banyak sekali lalu lalang masyarakat Desa, maklum saja karena hari itu adalah hari terakhir pendaftaran bakal calon kepala desa. Sarwoono nama pemberian sang bapak, nama yang sederhana tapi mengandung arti yang sangat dalam. Pagi itu dia terkaget-kaget ketika sedang tidur dibangunkan istri karena ada tamu tokoh-tokoh desa yang memang di desa tersebut sangat disegani.
Dia kaget bukan kepalang, "apa salahku" gumam dalam hati. Dia beranjak bangun dari tempat tidur, dan langsung menuju kamar mandi yang ada di belakang rumahnya. Kemudian ditemuilah sang tamu, setelah bicara kesana kemari, singkat cerita salah satu tokoh mengungkapkan maksud kedatangannya tersebut bahwa dia sudah didaftarkan menjadi calon kepala desa atas dasar rembug tokoh-tokoh masyarakat.
Kaget dan seakan tidak percaya, dalam hatinya berkata "apakah aku masih mimpi". Dengan sekuat tenaga dia berusaha menolak, "bagaimana mungkin saya menjadi calon kepala desa, untuk makan saja saya susah" dia berusaha meyakinkan para tamu tadi, maklum saja dia hanya seorang buruh serabutan, kalau ada orang minta tolong untuk pemasangan instalasi listrik rumah, karena dia lulusan dari salah satu sekolah menengah kejuruan negeri ternama di pekalongan, tapi para tokoh tetap saja memaksa kalau masyarakat memang sangat membutuhkan sosok seperti dia.
Padahal umurnya belum genap 31 tahun, tapi karena memang dia sangat aktif di masyarakat terutama dalam bidang kepemudaan jadi masyarakat sudah sangat tahu betul bagaimana kinerjanya, sebenarnya di desa itu banyak yang mendaftarkan diri menjadi calon kepala desa, tapi mereka hanya bermodalkan uang saja. Sangat kurang bagus sebenarnya demokrasi di indonesia karena yang punya banyak uanglah yang biasanya bisa jadi pemimpin, maka tidak heran kalau setelah menjadi pemimpin mereka tidak memikirkan masyarakat tapi yang dipikirkan bagaimana caranya modalnya bisa kembali.
Setelah menyelesaikan kekurangan administrasi dan lain sebagainya, dia langsung menyerahkan pada panitia. Semua biaya untuk perlengkapan administrasi dananya sudah disiapkan oleh masyarakat. Karena pada saat itu dalam dompetnya hanya ada uang Rp. 12.000,- hanya cukup untuk beli materai 2 lembar, padahal materai yang dibutuhkan sangat banyak. Setelah proses pendaftaran selesai dia seakan masih belum percaya akan keadaanya, "bagaimana mungkin saya bisa menjadi calon kepala desa yang dalam prosesnya harus banyak mengeluarkan uang, untuk biaya nanti istri melahirkan saja belum ada" karena saat itu istrinya masih mengandung anak keduanya.
Mendengar bahwa Sarwoono mendaftar menjadi calon kepala desa, pesaing-pesaingnya yang mempunyai banyak uang, bukannya mereka memandang sebelah mata, tapi justru mereka pada takut akan keberadaannya. Akhirnya semua calon mengundurkan diri dengan harapan apabila semuanya mengundurkan secara otomatis pemilihan tidak dapat dilaksanakan karena sesuai dengan peraturan bahwa calon kepala desa harus lebih dari satu. Setelah itu para tokoh berembug lagi bahwa ini harus segera ditanggapi agar pemilihan bisa tetap dilaksanakan, akhirnya diputuskanlah kalau sang istri yang nanti mendampingi atau menjadi pesaing dibursa pencalonan kepala desa.
Waktu berjalan seiring proses yang sangat panjang, 2 hari menjelang hari pencoblosan sang istri melahirkan, saat itu masyarakat berfikir bahwa nanti hari pencoblosan yang duduk dikursi berarti hanya 1 orang karena tidak mungkin kalau sang istri bisa duduk berdampingan dengan suami untuk bersaing walaupun sebenarnya sudah diatur. Karena itu hanya untuk memenuhi peraturan saja.
Hari pencoblosan tiba, jam menujukkan pukul 06.00 WIB suara gemuruh masyarakat mulai berkumandang melihat Sarwoono mulai memasuki Tempat Pemungutan Suara (TPS) Maklum rumah Sarwoono dengan TPS hanya 10 meter persis sebelah timur balai desa. Selang 5 menit kembali suara gemuruh masyarakat terdengar, tidak sedikit pula yang meneteskan air mata melihat kedatangan istri bpk. Sarwoono berjalan tertatih-tatih digandeng orang tuanya agar dapat mendampingi suami sekaligus pesaingnya di kursi pemilihan kepala desa. Masyarakat terperangah sekaligus terharu melihatnya.
proses pemilihan pun telah selesai dilaksanakan, terpilihlah Sarwoono menjadi kepala desa dengan selisih perolehan suara yang sangat jauh. Yang hanya bermodalkan uang Rp. 12.000,- saja, dan dalam prosesnya pun sangat mengharukan.sekarang pak Sarwoono sudah dilantik dan sudah menjalankan tugasnya menjadi kepala desa, dan beliau benar-benar bisa menjaga amanah yang diberikan masyarakat, semoga beliau bisa menjadi tauladan bagi masyarakat, dan bisa membawa masyrakat Desa Ketitanglor, Kabupaten Pekalongan menjadi masyarakat yang makmur dan sejahtera. Amin.
(Sumber.Http://www.suarakomunitas.com)
0 komentar:
Posting Komentar