Memutus Rantai Candu dan Stigma

Diposting oleh Cah Ingusan

Pecandu bergelut keras melepas jerat putau. Kini berjuang memutus mata rantai HIV/AIDS pengguna narkotika

Galeri Ruang Rupa, Tebet, Jakarta Selatan, awal akhir Maret 2009. Sketsa itu terus dipandangi. Selintas juga diratapi. Kini dia lepas dari cengkeraman narkotika. Sebuah kesadaran terus menggelayut: stigmatisasi masyarakat dan diskriminasi terhadap pecandu dan mantan pecandu harus dilawan. Berawal dari sebuah agency model di salah satu kawasan di Jakarta, Maya remaja, ditawari menjadi model. Posturnya memang menunjang untuk profesi ini. Modal itu ternyata membawanya pada malapetaka. Dara cantik ini dipaksa melayani nafsu manajer agency yang sudah dianggap seperti ayah sendiri. Peristiwa di ruang pemotretan itu mengubah jalan hidupnya. Remaja lugu ini tak kuasa membuang rekaman pengalaman menyakitkan itu. Ingin rasanya lepas dan menghapus memori kelam itu. Dia berusaha menghilangkan kenangan pahit ketika masih duduk di bangku SMP itu melalui pergaulan yang mengenalkannya pada putau. Putau itu pula yang membawa Maya mampir di markas polisi di kawasan Jakarta Selatan. Ketika ditangkap petugas, Maya dan ketiga temannya langsung menjalani proses berita acara pemeriksaan. Beruntung malam itu Maya tidak sampai menginap di markas polisi. Setelah dijemput ibunya, dia dibawa pulang ke rumah di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Keluarga kemudian mengupayakan perawatan dan pemulihan Maya. Pengobatan medis hingga alternatif pun dicoba. Namun, perlawanan dari dalam diri terus terjadi. Sering terjadi keributan besar di rumah saat Maya sakau. Bahkan ancam-mengancam antara anak dan orang tua terjadi. Pada suatu malam perang besar terjadi. ”Habis ini kita tidak bisa bantu lagi. Kamu mau makai silakan, tidak mau makai silakan. Kamu mau tinggal di jalanan, tidak pulang, silakan. Rumah ini mau terima kamu kalau kamu sudah berhenti makai,” kata sang ibu kepada putri satu-satunya itu. Maya gelap mata. Dia minggat dan memutuskan tinggal di jalanan. Kehidupan jalanan dilakoninya hingga dua tahun. Terus terngiang ucapan ibunya. Apa saja dilakukannya untuk mendapatkan putau. Dia menjadi pencuci piring di warteg, tukang parkir,”orasi” alias ngamen di bus kota, hingga ”naik kelas” menjadi bandar narkoba. Terkadang dia pulang ke rumah hanya untuk mendapatkan uang dengan cara apa pun. Kemudian menghilang. Suatu ketika, tiba-tiba Maya sangat rindu ibunya. Dia memberanikan diri pulang. Di luar dugaan, ayahnya telah membuat peraturan yang disebarluaskan ke tetangga. ”Jarak 500 meter, saya tidak boleh dekat rumah sendiri. Daripada saya nyolong dan ngancurin rumah lagi, kata bokap waktu itu,” tuturnya. Sampai pada suatu malam terjadi kembali keributan dengan sang ibu. Lengan Maya terluka yang mengakibatkan meregang nyawa karena kehilangan banyak darah. Ibunya hanya bergeming, bahkan mengeluarkan ultimatum. “Kalo sampe kamu mati,ya tinggal Mama kubur. Lebih baguslah matinya di rumah, bukan di jalanan, jadi tidak malu-maluin. Mama nggak rugi kehilangan anak satu macam kamu!” Maya termangu. Lama. Kemudian kesadaran datang. Dia ingin pulang ke rumah, kembali diterima keluarga. Dia ingin sembuh dan harus berani berpisah dari putau. ”Timbul kekuatan di benak. Kalau tidak berhenti sekarang, ancur nih gue. Akhirnya saya berhenti dan pulang ke rumah,” katanya. Kedua orang tua dan kakaknya menyambut dan menerima Maya. Jika sakau mulai melanda, ”cengkeraman” itu dilawan dengan pasang badan alias berhenti tanpa melalui pengobatan. Empat hari Maya berhasil melewati masa kritis. Selama itu pula sekujur badannya terus didera rasa sakit. ”Itu yang paling hebat. Ternyata threatment semacam itu yang saya butuhkan. Saya bukan tipe pecandu yang begitu dimanja langsung sembuh. Baru sadar saya tidak bisa digituin.Setelah melewati masa kritis itu dan berupaya membuktikan perlahan, ternyata bisa mengembalikan kepercayaan keluarga. Dan saya berhasil kasih bukti ke Mama dan keluarga, saya bisa menjadi anak mereka kembali yang dibanggakan,” katanya tersenyum
Kini di usia 28 tahun, Maya dan beberapa kawan senasib bekerja di sebuah lembaga yang peduli memutus mata rantai HIV/AIDS pengguna narkotika di komunitas. Maya kembali masuk penjara satu ke penjara lain, dari komunitas jalanan satu ke komunitas yang lain. Dulu sebagai pecandu, kini sebagai pemandu pemutus mata rantai HIV. ”Bagi saya tidak ada kata terlambat. Mungkin semakin banyak ngobrol, akan banyak sekali teman perempuan yang tahu. Paling tidak bisa meminimalisir pengalaman seperti yang saya alami. Dengan berbagi, bisa sedikit mengurangi beban,” katanya. Maya kini tahu masyarakat tidak punya hak untuk mendiskriminasi seseorang dengan alasan apa pun, termasuk terhadap pecandu dan kaum marginal lainnya. Seharusnya perempuan tetap bisa memperjuangkan hak, tanpa terbelenggu kesalahan masa lalu, juga pada bentukan sosial yang sangat patriarki. ”Saya tidak pernah menyesal, karena itu pengalaman yang sangat mahal. Kalau ada omongan miring saat ini, saya cuek saja. Yang penting niat saya baik dan terus membuktikan. Sekarang saya harus perjuangkan itu semua,” kata Maya mantap. Dia yakin, perjuangan melawan stigmatisasi itu akan berhasil, seperti halnya dia melepaskan dekapan narkoba. (E4)

0 komentar: